Ekonomi mikro islam
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Produksi, distribusi dan ekonomi, sesungguhnya merupakan satu
rangkaian kegiatan ekonomi yang tidak bisa dipisahkan. Kegiatannya memang
saling mempengaruhi, namun harus diakui produksi merupakan titikn pangkal dari
kegiatan itu. Tidak akan ada distribusi tanpa produksi. Dari teori ekonomi
makro kita memperoleh informasi, kemajuan ekonomi pada tingkat individu maupun
bangsa lebih dapat diukur dengan tingkat produktifitasnya, dari pada kemewahan
konsumtif mereka. Atau dengan kemampuan ekspornya ketimbang agrerat impornya.
Dari segi pandang konvensional, biasanya produksi dilihat dari tiga
hal, yaitu apa yang diproduksi, bagaimana memproduksinya, dan untuk siapa
barang/jasa diproduksi. Cara pandang ini untuk memastikan bahwa kegiatan
produksi cukup layak untuk mencapai skala ekonomi. Dalam berproduksi itu tadi,
ekonomi konvensional menempatkan tenaga kerja sebagai salah satu dari empat
faktor produksi, tiga faktor produksi lainnya adalah sumber alam, modal, dan
keahlian. Dalam memandang faktor tenaga kerja inilah terdapat sejumlah
perbedaan. Paham ekonomi sosialis misalnya memang mengakui faktor faktor tenaga
kerja merupakan faktor penting. Namun paham ini tidak memberikan pengakuan dan
penghargaan terhadap hak milik individu, sehingga faktor tenaga kerja atau manusia
turun derajatnya menjadi sekedar pekerja atau kelas pekerja. Sedangkan paham
kapitalis, yang saat ini menguasai dunia, memandang modal atau kapitalis
sebagai unsur yang terpenting. Dan oleh sebab itu, para pemilik modal atau para
kapitalislah yang menduduki tempat yang sangat strategis dalam ekonomi ekonomi
kapitalis. Dalam teori produksi memberikan penjelasan tentang
perilaku produsen tentang perilaku produsen dalam memaksimalkan keuntungannya
maupun mengoptimalkan efisiensi produksinya. Dimana Islam mengakui pemilikian
pribadi dalam batas-batas tertentu termasuk pemilikan alat
produksi, akan tetapi hak tersebut tidak mutlak.[1]
B.
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang penulisan di atas, pemakalah merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian produksi dalam Islam?
2.
Apa tujuan
produksi dalam Islam?
3. Apa saja prinsip-prinsip produksi dalam Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Produksi dalam Islam
Produksi adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan
barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen. Secara teknis
produksi adalah proses mentransformasi input menjadi output, tetapi definisi
produksi dalam pandangan ilmu ekonomi jauh lebih luas. Pendefinisian produksi
mencakup tujuan kegiatan menghasilkan output serta karakter-karakter yang
melekat padanya. Beberapa ahli ekonomi islam memberikan definisi yang berbeda
mengenai pengertian produksi, meskipun substansinya sama. Berikut pengertian
produksi menurut para ekonomi muslim kontemporer.
1. Karf (1992) mendefinisikan kegiatan produksi dalam
perspektif islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi
fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan
hidup sebagaimana digariskan dalam agama islam, yaitu kebahagiaan dunia dan
akhirat.
2. Rahman (1995) menekankan pentingnya keadilan dan
kemerataan produksi (distribusi produksi secaraa merata)
3. Al Haq (1996) menyatakan bahwa tujuan dari produksi
adalah memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang merupakan fardlu kifayah,
yaitu kebutuhan yang bagi banyak orang pemenuhannya bersifat wajib.
4. Dr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan padanan kata
“produksi” dalam bahasa arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah
dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau
khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min anashir al-intaj dhamina
itharu zamani muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya
bantuan penggabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang
terbatas).
5. Dr. Abdurahman Yusro Ahmad dalam bukunya Muqaddimah
fi Ilm al-iqtishad al-Islamy. Abdurahman lebih jauh menjelaskan bahwa dalam
melakukan proses produksi yang dijadikan ukuran utamanya adalah nilai manfaat (utility)
yang diambil dari hasiil produksi tersebut. Dalam pandangannya harus mengacu
pada nilai utiity dan masih dalam bingkai nilai “halal” serta tidak
membahayakan bagi diri seseorang ataupun sekelompok masyarakat. Dalam hal ini,
Abdurahman merefleksikan pemikirannya dengan mengacu pada al-Quran Surat Al
Baqarah: 219 yang menjelaskan tentang pertanyaan dari manfaat memakai
(memproduksi) khamr.
6. Taqiyuddin an-Nabhani dalam mengantarkan pemahaman
tentang produksi : ia lebih suka memakai kata istishna untuk mengartikan
‘produksi’ dalam bahasa arab. An_Nabhani memahami produksi itu sebagai sesuatu
uang mubah dan jelas berdasarkan as-sunnah. Sebab, Rosulillah Saw pernah
membuat cincin. Diriwayatkan dari Anas yang mengatakan “Bani Saw telah membuat
cincin” (HR Imam Bukhari). Dari Ibnu mas’ud: “ Bahwa Nabi Saw telah membuat
cincin yang terbuat dari emas.” (HR Imam Bukhari). Beliau juga perjah membuat mimbar.
Dari Saha; berkata “ Rosuillah Saw telah mengutus kepada seorang wanita, (kata
beliau) : Perintahkanlah anakmu si tukang kayu untuk membuatkan tempat dudukku,
sehingga aku bisa duduk diatasnya” (HR Imam Bukhari). Pada masa Rosulullah,
orang-orang biasa memproduksi barang dan beliau pun mendiamkan aktifitas
mereka. Sehingga diamnya beliau menunjukan adanya pengakuan (taqrir) beliau
terhadap aktifitas berproduksi mereka. Status (taqrir) dan perbuatan
Rosul itu sama dengan sabda beliau, artinya sama merupakan dalil syara’.
Dalam definisi-definisi
tersebut diatas terlihat sekali bahwa kegiatan produksi dalam perspektif
ekonomi islam pada akhirnya mengerucut pada manusia dan eksistensinya, meskipun
definisi-definisi tersebut berusaha mengelaborasi dari perspektif yang berbeda.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kepentingan manusia yang sejalan
dengan moral islam, harus menjadi fokus atau target dari kegiataan produksi.
Produksi adalah proses mencari, mengalokasikan dan mengolah sumber daya menjadi
output dalam rangka meningkatkan mashlahah bagi manusia. Produksi juga mencakup
aspek tujuan kegiatan menghasilkan output serta karakter-karakter yang melekat
pada proses dan hasilnya.
Produksi adalah menciptakan
manfaat dan bukan menciptakan materi. Maksudnya adalah bahwa manusia mengolah
materi itu untuk mencukupi berbagai kebutuhannya, sehingga materi itu mempunyai
kemanfaatan. Apa yang bisa dilakukan manusia dalam “memproduksi” tidak sampai
pada merubah substansi benda. Yang dapat dilakukan manusia berkisar pada
misalnya mengambilnya dari tempat yang asli dan mengeluarkan atau
mengeksploitasi (ekstraktif).
Memindahkannya dari tempat yang tidak membutuhkan ke tempat yang
membutuhkannya, atau menjaganya dengan cara menyimpan agar bisa dimanfaatkan di
masa yang akan datang atau mengolahnya dengan memasukkan bahan-bahan tertentu,
menutupi kebutuhan tertentu, atau mengubahnya dari satu bentuk menjadi bentuk
yang lainnya dengan melakukan sterilisasi, pemintalan, pengukiran, atau
penggilingan, dan sebagainya. Atau mencampurnya dengan cara tertentu agar
menjadi sesuatu yang baru.
Dari pengertian diatas produksi dimaksudkan untuk mewujudkan suatu barang dan
jasa yang digunakan tidak hanya untuk kebutuhan fisik tetapi juga untuk
memenuhi kebutuhan non fisik, dalam artian yang lain produksi dimaksudkan untuk
menciptakan mashlahah bukan hanya menciptakan materi.
B. Motif Produksi dalam Islam
Kegiatan produksi dalam ilmu ekonomi diartikan
sebagai kegiatan yang menciptakan manfaat (utility) baik di masa kini maupun
di masa mendatang. Dengan pengertian
yang luas tersebut, kita memahami bahwa kegiatan produksi tidak terlepas dari
keseharian manusia. Meskipun demikian, pembahasan tentang produksi dalam ilmu
ekonomi konvensional senantiasa mengusung maksimalisasi keuntungan sebagai
motif utama, meskipun sangat banyak kegiatan produktif yang memiliki motif lain
dari hanya sekedar memaksimalkan keuntungan.
Motif maksimalisasi kepuasan dan maksimalisasi
keuntunngan yang menjadi pendorong utama sekaligus tujuan dari keputusan
ekonomi dalam pandangan ekonomi konvensional bukannya salah aatupun dilarang di
dalam Islam. Islam ingin mendudukkannya pada posisi yang benar, yakni semua itu
dalam rangka maksimalisasi dan keuntungan di akhirat. Perlu diingat sejarah
pemikiran ekonomi dan ilmu pengetahuan pada umumnya yang bangkit sejak jaman
Renaisans, suatu zaman dimana terjadi perubahan ukuran kebenaran dari yang semula bersandar kepada wahyu dan dogma
gereja menjadi bersandar kepada logika, bukti-bukti empiris, positivisme.
Perubahan ukuran kebenaran tersebut membuat ilmu pengetahuan maju pesat, akan
tetapi ia menjadi sangat sekuler.
Upaya memaksimalkan keuntungan itu, membuat sistem
ekonomi konvensional sangat mendewakan produktivits dan efisiensi ketika
berproduksi. Sikap ini sering membuat mereka mengabaikan masalah-masalah
eksternalitas, atau dampak merugikan dari proses produksi yang biasanya justru
lebih banyak menimpa kelompok masyarakat yang tidak ada hubungannya dengan
produk yang dibuat, baik sebagai konsumen maupun ebagai bagian dari faktor
produksi. Pabrik kertas misalnya sering menimbulkan pencemaran disekitar
lingkungan pabrik. Kelompok yang paling menderita dari pencemaran itu justru
masyarakat sekitar pabrik yang tidak mendapat manfaat langsung dari kegiatan
pabrik tersebut. Baru belakangan ini masalah eksternalitas menjadi perhatian
berkat perjuangan kalangan LSM.
Nilai-nilai Islam dalam
berproduksi
Upaya produsen untuk
memperoleh mashlahah yang maksimum dapat terwujud apabila produsen
mengaplikasikan nilai-nilai islam. Dengan kata lain, seluruh kegiatan produksi
terikat pada tatanan nilai moral dan teknikal yang islami. Metwally mengatakan,
“perbedaan dari perusahan-perusahan non muslim tak hanya pada tujuannya,
tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya.
Nilai-nilai islam yng
relevan dengan produksi dikembangkan dari tiga nilai utama dalm ekonomi islam,
yaitu: khilafah, adil, dan takaful.secara lebih rinci nilai-nilai islam dalam
produksi meliputi:
1. Berwawasan jangka panjang, yaitu berorientasi kepada
tujuan akhirat;
2. Menepati janji dan kontrak, baik dalam lingkup
internal atau eksternal;
3. Memenuhi takran, ketepatan, kelugasan dan kebenaran;
4. Berpegang teguh pada kedisiplinan dan dinamis;
5. Memuliakan prestasi/produktifitas;
6. Mendorong ukhuwah antarsesama pelaku ekonomi;
7. Menghormati hak milik individu;
8. Mengikuti syarta sah dan rukun akad/transaksi;
9. Adil dalam bertransaksi;
10. Memiliki wawasan social;
11. Pembayaran upah tepat waktu dan layak;
12. Menghindari jenis dan proses produksi yang diharamkan dalm islam.
Penerapan nilai-nilai diatas
dalam produksi tidak saja akan mendatangkan keuntungan bagi produsen, tetapi
sekaligus mendatangkan berkah. Kombinasi keuntungan dan berkah yang diproleh
oleh produsen merupakan satu mashlahah yang akan member kontribusi bagi
tercapinya falah. Dengan cara ini, maka produsen akan memperoleh
kebahagiaan hakiki, yaitu kemuliaan tidak saja di dunia tetapi juga diakhirat.[2]
C. Prinsip-prinsip dalam Produksi dalam Islam
Salah satu definisi tentang produksi adalah
aktivitas menciptakan manfaat di masa kini dan mendatang. Proses produksi bisa
dilakukan oleh satu orang saja, misalnya seorang penyanyi yang mengolah udara,
alat-alat pernafasan, alat-alat pengucapan, pita suara, daya seni, dan
ketrampilannya menghasilkan suatu nyanyian dsolo yang indah, atau sebuah
perusahaan tekstil besar dengan ribuan karyawan dan berbagai macam bahan baku
dan mesin menghasilkan tekstil untuk dijual ke manca negara.
Disamping pengertian diatas, pengertian produksi
juga merujuk kepada prosesnya yang mentransformasikan input menjadi output.
Segala jenis input yang masuk dalam proses produksi untuk menghasilkan output
disebut faktor proiduksi. Ilmu ekonomi menggolongkan faktor produksi kedalam capital
(termasuk didalamnya tanah, gedung, mesin-mesin, dan inventori/ persediaan),
materials (bahan baku dan pendukung, yakni semua yang dipilih oleh perusahaan
untuk mengasilkan output termasuk listrik, air, dan bahan baku produksi), serta
manusia (labor). Input dapat dipisah-pisahkan dalam kelompok yang lebih
kecil lagi. Manusia sebagai faktor produksi misalnya bisa dibedakan menjadi
manusia terampil dan tidak terampil. Juga dapat digolongkan kedalamnya adalah enterpreneurship
(kewirausahaan) dari pemilik dan pengelola perusahaan. Kewirausahaan endiri
dimaksudkan sebagai kemampuan untuk mengendalikan organisasi usaha, mengambil
resiko untuk menciptakan kegiatan usaha. Unsur kewirausahaan ini belakangan
dianggap cukup penting sebagai salah satu faktor manusia sebagai tenaga kerja,
sehingga para ekonom menggolongkannya sebagai faktor produksi yang berdiri
sendiri. Di dalamnya termasuk management perusahaan. Akan tetapi, Keat dan
Young dalam Managerial Economics (2003) berargumentasi bahwa antara enterpreneurship
dan menejemen pun terdapat perbedaan karakteristik yang mendasar. Menejemen,
katanya, merupakan kemampuan pengelolaan dan pengaturan berbagai tugas
menejerial untuk mencapai tujuan oerusahaan, bukan kemampuan dan keberanian
ambil resiko, dan menciptakan kegiatan usaha, sebagaimana merupakan ciri utama
enterpreneurship. Karenanya ada pula ekonom yang memisahkan manajemen sebagai
satu faktor produksi sendiri.
Menurut Yusuf Al Qardhawi, faktir produksi yang
utama menurut Al Qur’an alam dan kerja manusia. Produksi merupakan perpaduan
harmonis antara alam dengan manusia. Firman Allah dalam surat Huud ayat 61,
yaitu:
D.
هو أنشأكم من الأرض واستعمركم فاستغفروه ثمّ توبوا اليه
انّربّي قريب مجيب
“Dia
telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya,
karena itu mohonlah ampunanNya, kemudian bertaubatlah kepadaNya, sesungguhnya
Tuhanku amat dekat (rahmatNya) lagi memperkenankan (doa hambaNya).”
Islam juga mengajarkan bahwa sebaik-baiknya orang
adalah orang yang banyak manfaatnya bagi orang lain atau masyarakat. Fungsi
beribadah dalam arti luas ini tidak mungkin dilakukan bila seseorang tidak
bekerja atau berusaha. (Iljas, 2002). Dengan demikian, bekerja dan berusaha itu
menempati posisi dan peranan yang sangat penting dalam islam. Sangatlah sulit
untuk membayangkan sesorang yang tidak bekerja dan berusaha, terlepas dari
bentuk dan jenis pekerjaannya, dan menjalankan fungsinya sebagai
khalifatullah dan bisa memakmurkan bumi serta bermanfaat bagi masyarakat . dalam peran sebagai khalifatullah
yang membawa rahmatan lil alamin inilah, seseorang produsen tentu tidak akan
mengabaikan masalah eksternalitas seperti pencemaran.
Bagi
islam memproduksi sesuatu bukanlah sekadar
untuk di konsumsi sendiri atau dijual ke pasar. Dua motivasi itu belum cukup karena masih
terbatas pada fungsi ekonomi. Islam secara khas menekankan bahwa setiap
kegiatan produksi harus pula mewujudkan fungsi sosial. Ini tercermin dakam QS.al-hadiid
(57) ayat 7.
“Berimanlah kamu kepada allah dan rasul-Nya dan
nafkahkanlah sebadian dari hartamu yang telah menjadikan kamu menguasainya.
Maka orang-orang beriman diantara kamu dan menafkahkan( sebagian)dari hartanya
memperoleh pahala yang besar”
Kita harus melakukan hal ini karena memang dalam
sebagian harta kita melekat hak orang
miskin, baik yang meminta maupun yang tidak meminta. (QS. 51:19 dan QS 70:25).
Agar mampu mengemban fungsi sosial seoptimal mungkin, kegiatan produksi harus
melampaui surplus untuk mencukupi keperluan komsumtif dan meraih keuntungan
finansial, sehingga bisa berkontribusi kehidupan sosial.
Melalui konsep inilah, kegiatan produksi harus
bergerak diatas dua garis optimalisasi. Tingkatan optimal pertama adalah
mengupayakan berfungsinya sumberdaya insani ke arah pencapaian kondisi full
employment, dimana setiap orang bekerja menghasilkan suatu karya kecuali mereka
yang udzur syar’i seperti sakit dan lumpuh. Optimalisai berikutnya adalahdalam
halmemproduksi kebutuhan primer(dharuriyyat), lalu kebutuhan sekunder(hajiyyat)
dan kebutuhan tersier (tahsiniyyat) secara proporsional. Tentu saja islam harus
memastikan hanya produksi sesuatu yang halal dan bermanfaat buat
masyarakat(thoyib). Target yang harus di capai secara bertahap adalah kecukupan
setiap individu, swasembada ekonomi umat dan konstribusi untuk mencukupi umat
dan bangsa lain.” Pribadi dan masyarakat muslim itu produktif dan kontributif
bagi kesejahteraan dan keadaban umat manusia. Tidak ada ajaran selain islam
yang menguduskan kerja produksi seperti ini,” kata al Qardhawi (Qhardhawi 1997). Dalam memandang
tenaga kerja, islam berada pada posisi yang moderat. Faktor tenaga kerja,
berusaha kerja dan berusaha itu adalah penting. Namun bekerja dan berusaha
haruslah di jalan yang halal dan pekerja perlu tetap di jaga harkat dan
martabatnya dan tidak bisa hanya dipandang sebagai faktor produksi saja.
Manusia dalam faktor produksi, dalam pandangan Isalam, harus dilihat dalam konteksa
fungsi manusia secaraumum yakni sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sebagai makhluk allah yang paling
sempurna, manusia memiliki unsur rohani dan unsurmaeri, yang keduanya saling
mlengkapi. Karenanya unsur rohani tidak dapat dipisah dalam mengkaji proses proses produksi dalam
hal bagimana manusia memandang factor-faktor produksi dalam halbagaimana manusiamemandang factor-faktorproduksi
yang lai menurut cara pandang Al-Qur’an dan Hadits.
Al-Qur’an dan Hadits
Rasulullah SAW.memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi sebagai
berikut:
1. Tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan
bumi dengan ilmu dan amalnya. Allah menciptakan bumi dan langit beserta segala
apa yang ada di antara keduanya karena sifat Rahman dan Rahim-Nya kepada manusia. Karenanya
sifat tersebut juga harus melandasi aktivitas manusia dalam pemanfaatan bumi
dan langit dan segala isinya.
2. Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi. Menurut Yusuf
Qardhawi, Islam membuka lebar penggunaan metode ilmiah yang didasarkan pada
penelitian, eksperimen dan perhitungan. Akan tetapi Islam tidak membenarkan
penuhanan terhadap hasil karya ilmu
pengetahuan dalam arti melepaskan dirinya dari Al-Qur’an dan Hadits.
3. Teknik produksi diserahkan kepada keinginan dan kemampuan manusiaa. Nabi
pernah bersabda: ‘Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.
4. Dalam berinovasi dan bereksperimen, pada prinsipnya agama Islam menyukai
kemudahan, menghindari mudarat dan memaksimalkan manfaat.[3]
Adapun
kaidah-kaidah dala berproduksi antara
lain adalah:
1. Memproduksi barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi
2. Mencegah kerusakan di muka bumi, termasuk membatasi polusi, memelihara
keserasian, dan ketersediaan sumber daya alam.
3. Produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat
serta mencapai kemakmuran.
4. Produksi dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari tujuan kemandirian
umat.
5. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia baik kualitas spiritual maupun
mental dan fisik.
Dalam Islam
menurut Muhammad AbdulMannan (1992).
Perilaku produksi tidak hanya menyandarkan pada kondidi permintaan pasar,
melainkan juga berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Pendapat ini di dukung
oleh M.M. Mrtwally (1992) yang menyatakn bahwa fungsi kepuasan perusahaan tidak
hanya dipengaruhi oleh variable tingkat keuntungan tetapi juga oleh variable
pengeluaran yang bersifat charity atau good deeds.
Faktor – faktor Produksi
Pada prinsipnya islam juga lebih menekankan pada
berproduksi demi untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, bukan hanya sekedar
memenuhi segelintir orang yang memiliki uang, sehingga memiliki daya beli yang
lebih baik. Karena itu bagi islam, produksi yang surplus dan bekembang baik
secara kuantitatif maupun kualitatif, tidak dengan sendirinya mengindikasikan
kesejahteraan bagi masyarakat. Apalah produk yang menggunung jika hanya bisa
didistribusikan untuk segelintir orang yang memiliki uang banyak.
Sebagai
modal dasar berproduksi, allah telah menyediakan bumi beserta isinya bagi
manusia, untuk diolah bagi kemaslahatan bersama seluruh umat manusia. Hal ini
terdapat dalam surat al-baqarah ayat 22.
Faktor-faktor dalam produksi yaitu :
1. Tanah
Pengertian tanah mengandung arti yang luas termasuk sumber semua yang kita
peroleh dari udara, laut, gunung dan sebagainya, sampai dengan keadan geografi,
angina dan iklim terkandung dalam tanah. Al Qu’an menggunakan kata tanah dengan
maksud ayang berbeda. Manusia diingatkan akan sumber kekyaan untuk dipergunakan
. manusia boleh menggunakan sumber yang tersembunyi dan potensi untuk memuaska
kehendak yang tidak terbatas.
Islam telah mengakui tanah
sebagai factor produksi tetapi tidak setepat digunakan dalam arti sama yang
digunakan di zaman modern.tanah boleh digunakan dalam rangka memaksimalkan
kesejahteraan masyarakat sebagai prinsip dasar Ekonomi Islam.
2.
Tenaga kerja
Dalam islam tenaga kerja bukan hanya suatu jumlah usaha atau jasa yang
abstrakyang ditawarkan untuk dijual pada pencari tenaga kerja manusia. Mereka
yang memperkerjakan buruh punya tanggung jawab moral dan social.
3.
Modal
Modal meupakan asset yang
digunakan untuk membantu distibusi asset berikutnya. Menurut Thomas, miilik
individu dan Negara yang digunakan dalam menghasilkan asset berikutnya selain
tanah dan modal. Modal dapat memberikan kepuasan pribadi dan membantu
menghasilkan kekayaan.
4.
Organisasi
Organisasi memerankan peranan penting dan dianggap sebagai factor produksi yang
paling penting. Dalam organisasi tentu ada yang menjalankan dan dalam bisnis
yaitu seorang usahawan. Bisnis tidak akan berjalan tanpa adanya usahawan dalam
sebuah organisasi. Dengan adanya usahawan proses perencanaan, pengorganisasin,
pengktualisasian dan proses evaluasi akan berjalan dalam bisnis.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Produksi dalam perspektif ekonomi islam pada akhirnya
mengerucut pada manusia dan eksistensinya, meskipun definisi-definisi tersebut
berusaha mengelaborasi dari perspektif yang berbeda. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa kepentingan manusia yang sejalan dengan moral islam, harus
menjadi fokus atau target dari kegiataan produksi. Produksi adalah proses
mencari, mengalokasikan dan mengolah sumber daya menjadi output dalam rangka
meningkatkan mashlahah bagi manusia.
Motif maksimalisasi kepuasan dan maksimalisasi
keuntunngan yang menjadi pendorong utama sekaligus tujuan dari keputusan
ekonomi dalam pandangan ekonomi konvensional bukannya salah aatupun dilarang di
dalam Islam. Islam ingin mendudukkannya pada posisi yang benar, yakni semua itu
dalam rangka maksimalisasi dan keuntungan di akhirat.
Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW.memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip
produksi sebagai berikut:
1. Tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan
bumi dengan ilmu dan amalnya.
2. Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi.
3. Teknik produksi diserahkan kepada keinginan dan kemampuan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Mustafa
Edwin, Pengenalan Eklusif: Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2006,cet. I
Anto, Hendi, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta: Jalasutra. 2003
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2007
Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Jakarta : PT. Bangkit Daya
Insana, 1995
Komentar
Posting Komentar
mohon kritik dan saran dalam tata letak, penulisan dll
terimakasih . . .